Sabtu, 09 Juni 2012

Sejarah Blitar


Rumeseping tirta hing
"Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja"
ya bhumi pasareyane raja-raja agung kang mahardhika
mahanani dadya tirta kang amartani tuwuhing jalma kang
tansah amundhi dharmaning satriya tama nggone sedya
labuh mring nagari.
Meresapnya Air Kedalam Blitar Yaitu Bumi Pusara Raja-Raja Agung Yang
Merdeka Menjadi Timbulnya Sumber-Sumber Air Yang Berpengaruh
Menumbuhkan Manusia Yang Senantiasa Berkehendak Mendharma Bhaktikan
Dirinya Sebagai Satria Utama Untuk Negara.

Blitar sebuah tempat yang sejuk, tenang dan damai, jauh dari hingar bingar kekuasaan, tidak pernah menjadi sebuah wilayah pemegang kekuasaan negeri ini, baik dari zaman singosari, Kediri, majapahit, demak, pajang sampai mataram islam, namun bukan berarti tanpa prestasi, tanpa tokoh  dan tidak diperhitungkan dalam sejarah panjang bangsa ini.
 Tokoh – tokoh besar bangsa ini banyak yang tidak bisa dipisahkan dengan blitar, sebut saja Ir. Soekarno sang proklamator bangsa ini yang diakui sebagai orator ulung dunia, soepriyadi yang membuat geger jepang jaman pendudukan, gajah mada sang mahapatih majapahit yang mampu mempersatukan Nusantara konon juga tidak bisa dipisahkan sejarahnya dari wilayah ini, serta masih banyak lagi yang akhirnya membuat Ir. Drs. Poerwanto P., MA merasa perlu menggagas sebuah buku wong blitar yang berisi tokoh-tokoh blitar, dengan harapan semangat dan kebanggaan itu bisa menular dan menginspirasi generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan dari para pendahulu.
Blitar memang kota kecil, lokasinya pun di “pedalaman” Jawa Timur, bagian selatan yang relatif merupakan wilayah tertinggal dibandingkan dengan bagian utara. Tetapi meskipun demikian, orang Blitar boleh bangga, “walaupun kota kecil tetapi memiliki Bung Karno”. Bung Karno dimakamkan di Blitar. Berkaitan dengan makam orang besar, Blitar sering berbangga karena memiliki candi Panataran dan candi Simping yang konon adalah berkaitan dengan (makam) tokoh Sang Radjasa, “Ken Arok” pendiri Singasari, dan Sanggrama Widjaya pendiri Madjapahit, sehingga layaklah orang Blitar mendapat sebutan “Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja”, “Bumi tempat Pusara raja-raja agung yang berdaulat”.


Sudah sejak zaman majapahit blitar menjadi daerah yang diperhitungkan oleh para penguasa, itu dibuktikan dengan pendirian candi-candi dan sering berkunjungnya para raja, dapat dilihat di sebuah catatan bahwa pada tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Berdasarkan legenda, dahulu Bangsa Tartar dari asia timur sempat menguasai tanah Blitar, tentara Tartar ini menurut sejarah secara tidak langsung berjasa terhadap berdirinya kerajaan majapahit menumpas raja Jayakatwang dari Kediri, sebuah kerajaan bawahan yang menelikung singosari ketika giat-giatnya raja Kertanegara melakukan ekspansi ke wilayah sumatera, setelah Kediri hancur tentara tartar menagih upeti kepada raden Wijaya termasuk dua puteri kerajaan sebagai bentuk pengakuan tanah jawa takluk kepada kaisar mongol, setelah berunding dengan para pembantunya yaitu  Arya Wiraraja, Lembu Sora, Ronggolawe, Nambi dll maka diputuskan tidak akan takluk pada bangsa tartar, sebaliknya segera disiapkan pasukan untuk menyerang secara mendadak pasukan Tartar yang masih berpesta pora di Dhaha, karena tidak menduga bakal diserang dari beberapa penjuru maka pasukan tartar kocar-kacir tidak mampu menghadapi gempuran yang datang, berdasar laporan jendral yang dengan susah payah bisa kembali, dalam perjalanan menuju ke kapal memerlukan waktu 3 hari dan korban tewas sebanyak 3000 pasukan karena begitu sengitnya serangan di setiap jalan yang dilalui.
Serangan mendadak dan dari beberapa penjuru menyebabkan banyak pasukan Tartar tercerai berai, banyak yang tewas, sebagian besar kembali ke kapal untuk pulang ke mongol dan sisanya melarikan diri ke beberapa tempat untuk menyelamatkan diri, dari beberapa yang selamat sampailah di pulau jawa bagian selatan yang kala itu belum bernama Blitar, disana mereka berubah menjadi begal dan rampok sehingga sangat mengganggu ketentraman rakyat, Majapahit sebagai penguasa nusantara saat itu merasa perlu untuk merebutnya, untuk mengembalikan wibawa dan ketentraman Negara.
Kerajaan adidaya itu mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur Bangsa Tartar. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo adalah salah satu putra dari Adipati Wilatika Tuban, akhirnya berangkatlah beliau di ikuti oleh para prajurit dari majapahit ke selatan menuju pantai selatan jawa,  setelah sampai di blitar segeralah terjadi pertempuran yang sengit antara kedua pasukan, berkat kesigapan dan kedigdayaan yang dimiliki oleh Nilasuwarna, akhirnya perlawanan tentara Tartar dapat dipatahkan dan dipukul mundur, dipaksa pulang ke negeri asalnya Tartar mongolia, untuk mengenang peristiwa tersebut, maka tempat tersebut dinamakan Balitar dari kata jawa “Bali Tartar” yang artinya pulangnya bangsa Tartar.
Atas jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati Aryo Blitar I oleh kerjaan Majapahit dan, Mulai saat itu Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kekuasaan di bawah kerajaan majapahit, Adipati Ariyo Blitar I menikah dengan Dewi Rayung wulan dan memiliki seorang putra bernama Djoko kadung. Tapi tak di nyana ditengah pemerintahannya terjadi pemberontakan yang di lakukan oleh patihnya sendiri yang bernama Ki Sengguruh Kinareja, Setelah berhasil melakukan kudeta Ki Sengguruh Kinareja meraih tahta dengan gelar Adipati Ariyo Biltar II. Mengetahui bahwa ayah kandungnya di bunuh Djoko kadung pun akhirnya menuntut balas. Setelah berhasil menuntut balas Djoko kadung pun di angkat menjadi Adipati Ariyo Blitar III.
Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai dari Demak, Pajang hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta) kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah. Bahkan puncaknya ketika Balitar di hibahkan kepada Belanda oleh Kerajaan Kartasura Hadiningrat yang di pimpin Raja Amangkurat, akibat dari perjanjian dan lemahnya kerajaan mataram saat itu, sehingga Blitar pun menjadi salah satu kekuasaan belanda.


Powered by Blogger